Belajar Itu Menyakitkan!

Kompleks Kognitif
Cabang Ilmu:Kompleks Kognitif
Objek Kajian:Analisis Proses Belajar & Realitas Sosial
Metode:Naratif Deskriptif

Istilah belajar itu menyakitkan bukan dimaksudkan untuk menggambarkan penderitaan fisik, melainkan ketidaknyamanan kognitif yang muncul ketika otak dipaksa untuk bekerja melampaui kebiasaan lamanya. Ketidaknyamanan ini sering kali menjadi sinyal bahwa proses belajar yang sesungguhnya sedang berlangsung.

Banyak dari kita menganggap belajar yang baik adalah yang lancar, cepat, dan selalu menghasilkan nilai tinggi. Namun, pengalaman hidup saya sebagai seorang anak dari Fakfak mengajarkan hal sebaliknya: Kesulitan adalah tanda bahwa sebuah proses perubahan yang sesungguhnya sedang terjadi.

Belajar Itu Memang "Menyakitkan"

Belajar sering kali membawa ketidaknyamanan mental. Kondisi ini muncul karena otak sedang dipaksa bekerja melampaui kebiasaan lamanya. Secara ilmiah, Jean Piaget (1977) menyebut ini sebagai proses Akomodasi—saat kita harus membongkar struktur berpikir lama untuk memahami informasi baru. Inilah yang membuat kita merasa bingung dan lelah.

Refleksi dari Fakfak: Pembangunan yang Terbelenggu

Sebagai seorang anak yang tumbuh di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, saya melihat analogi belajar ini dalam realitas tempat tinggal saya. Fakfak adalah kabupaten tua, namun perkembangannya seolah berjalan di tempat.

Jika dalam belajar ada "hambatan kognitif", maka di Fakfak ada hambatan struktural yang nyata. Pengelolaan Dana Otsus yang belum optimal, persoalan Hak Ulayat, hingga aksi pemblokiran area sering kali menjadi penyebab macetnya kemajuan. Masalah-masalah ini adalah "beban berat" yang membuat Fakfak sulit untuk maju. Sama seperti otak yang kewalahan, sebuah daerah pun bisa stagnan jika sistemnya tidak dibenahi dengan bijak.

Sebuah Titik Balik: Kegagalan UN 2011 dan Pilihan untuk Belajar

Saya pribadi pernah merasakan stagnasi itu: Saya tidak lulus Ujian Nasional (UN) SMA pada tahun 2011. Kegagalan itu adalah tamparan keras, namun ia membuka mata saya. Saya menyadari bahwa saya miskin, dan satu-satunya modal yang saya miliki untuk mengubah nasib adalah ilmu pengetahuan.

Satu hal yang saya pegang teguh: Saya memilih untuk belajar bukan karena terpaksa, melainkan karena keinginan saya sendiri. Saya sadar bahwa saya harus belajar karena saya masih merasa bodoh. Prinsip saya sederhana: Belajar itu pelan-pelan saja, namun harus keras!

Kita tidak perlu terburu-buru, namun usaha yang kita berikan harus maksimal. Dengan prinsip ini, saya memutuskan berkuliah dan lulus dengan hasil yang tidak buruk. Kepercayaan diri saya tumbuh karena saya berani mengakui kekurangan diri dan menghadapinya dengan kerja keras.

Manfaat Menghadapi Kesulitan dan Keterbatasan

  • Kesadaran Metakognitif: Mengetahui kekurangan diri (tahu diri) adalah awal dari kecerdasan.
  • Belajar yang Mendalam: Melalui prinsip "pelan tapi keras", informasi yang diserap otak menjadi lebih kuat dan permanen dibandingkan belajar instan.
  • Pengetahuan sebagai Kehormatan: Menyadari bahwa di tengah keterbatasan ekonomi dan sistem, ilmu pengetahuan adalah satu-satunya hal yang bisa kita banggakan.

Kesimpulan

Jangan takut merasa sulit saat belajar. Jangan pula patah semangat jika sistem membuat Anda merasa gagal. Kesulitan bukan tanda Anda tidak mampu, melainkan indikator bahwa Anda sedang berproses. Bagi saya, belajar adalah kebutuhan dan kehormatan. Meski harus dilakukan pelan-pelan, asalkan kita melakukannya dengan keras dan sungguh-sungguh, ilmu itulah yang akan menjadi alat perjuangan kita.


Daftar Rujukan

  • Baddeley, A. (2012). Working memory: Theories, models, and controversies. Annual Review of Psychology, 63, 1–29.
  • Mayer, R. E. (2008). Learning and Instruction. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.
  • Piaget, J. (1977). The Development of Thought: Equilibration of Cognitive Structures. New York: Viking Press.
  • Sweller, J., Ayres, P., & Kalyuga, S. (2011). Cognitive Load Theory. New York: Springer.
Blogger (0)
Facebook
Disqus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar